Notebook Bunda
“Bunda,
baikkah keadaanmu?? Hanya ini yang bisa kuucapkan saat tersadar dari mimpi
buruk. Kulirik nokia classicku 03:20 Wita. Masih jauh dari pagi, tidur
kembalipun percuma.
Diluar
hujan masih bernapsu menunjukkan kuasanya. Petir dan kilat pun tak mau kalah.
Semua berlomba-lomba memberi rasa gelisah yang sungguh tak mengenakkan.
Seharusnya ini adalah waktu yang tepat untuk terlelap. Dan aku yakin semua
orang yang kelelahan setelah beraktifitas seharian pasti akan setuju denganku.
Namun sayang, sang waktu tak lagi berpihak kepadaku. Terpakasa aku harus
bertahan hingga fajar menjemput. Lantas apa yang harus kulakukan? Aku mulai
bermonolog dengan diriku sendiri.
Menulis
mungkin. Hanya itu yang terlintas dipikiranku saat ini dan memungkinkan untuk
dilakukan. Yang benar saja jika aku memetik gitar atau menyetel musik dengan
sangat kencang?? Aku jamin sebelum fajar menyingsing, pemilik kosku yang super
“galak” akan dengan senang hati mendepakku pergi dari rumah sewaannya. Tetapi
pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus kutuliskan?
Setelah
terpekur hampir satu jam, akupun tahu apa yang harus kutuliskan. Seharusnya
sudah sejak tadi, namun aku masih merasa ragu. Dan kini saat langit berhenti
menangis dan sisa-sisa hujan masih menggantung dipuncak atap ribuan kata-kata
terus mendesak keluar. Berharap dapat ditorehkan pada kertas putih yang telah
sempurna berada dihadapanku.
Aku
memulai paragraf awalnya dengan tulisan singkatku. Harus subuh ini, tak boleh
ditunda lagi, kataku lebih untuk menyemangati diri. Dan sang pena pun seolah
tahu perasaanku. Dia menari dengan begitu lincah berlomba dengan setiap kata
penuh perasaan yang ingin kupersembahkan kepadanya.
Kutulis
kisah ini ketika suara telah tertidur bersama tangisan langit, untukmu
seseorang yang kusebut pelangi. Ahh, bukan!! kamu tak pantas disandingkan
dengan pelangi, bintang, atau pun segala sesuatu. Tak ada kata yg mampu
menggambarkan semuanya, Cuma hati yang tahu betapa tulusnya aku mencintaimu.
****
Setelah
kuliah yang cukup melelahkan aku ingin rehat sejenak. Mungkin mendengarkan lagu
sambil tiduran cukup membuatku nyaman. Maka tanpa menunggu waktu lagi kuputar
beberapa lagu dari Hpku. Rasanya sangat nyaman dan menenangkan. Sekali-kali aku
ikut bersenandung pada beberapa lagu yang aku suka. Tiba-tiba sebuah sms
menghentikan lagu yang sedang kuputar. Kulirik sebentar, dilayar muncul 2 kata
yang sejak semalam terus menghantui pikiranku. Bunda sayang. Tanpa menunggu
lagi segera kubuka pesan itu.
Bunda
: Selamat sore sayang. Apa kabarmu??
Aku : Baik Bunda. Bunda apa kabar? Velin rindu
bunda L
Bunda
: Bunda juga rindu. Velin bisa bantu bunda? Save as itu apa sayang?
Aku sedikit kaget dengan pertanyaan
bunda. Tiba-tiba menanyakan save as. Untuk apa? Setahuku bunda tak pernah
memegang komputer. Bukan apa-apa,bukan juga aku mengolok bunda. Sekalipun bunda
seorang guru tetapi beliau adalah guru SD dan di daerahku hanya orang-orang
tertentu yang mampu memiliki komputer atau laptop. Buru-buru ingin memiliki
barang tersebut, listrik saja belum sepenuhnya menerangi pulau kecil itu.
Lantas untuk apa bunda menanyakan save as? Aku bertanya lagi ke bunda saking
penasaranya.
Aku :
Untuk apa bunda menanyakan itu? Save as itu buat menyimpan data yang sudah diketik dalam word.
Bunda :
makasih sayang. Bunda lagi mengerjakan soal tentang TIK. Bunda mau kuliah lagi,
mumpung di biayai pemerintah.
Ada
haru dalam dadaku. Tanpa sadar aku sudah menangis. Bundaku betul-betul wanita
yang sangat hebat dan tak pernah putus asa. Aku tahu persis bagaimana kehidupan
kami setelah ayah meninggal. Bunda harus ekstra sabar dan tabah membesarkan
keempat buah hatinya sendirian dan masih sangat kecil. Namun bunda tak pernah
putus asa. Tekadnya hanya satu, ingin menyekolahkan anak-anaknya hingga menjadi
orang sukses. Cita-cita yang sangat mulia dan tentu saja menjadi cita-cita
semua orang tua. Setelah sms singkat dengan bunda, terbersit ide dalam
kepalaku. Aku ingin melanjutkan proyek tulisanku semalam.
Sejak
sms tentang save as itu, sms bunda sepenuhnya didominasi tentang pertanyaan
seputar dunia TIK. Bunda begitu bersemangat bercerita. Hingga mengalirlah
sebuah kisah yang terus mengganggu pikiranku.
Sore
itu bunda menelponku dan menceritakan kisahnya. “velin sayang, tadi bunda
belajar tentang menghidupkan komputer. hebat sekali sayang, bunda sudah bisa
menghidupkan dan mematikan komputer, tetapi belum bisa mengetik dan lain-lain.
Terlalu sulit dan bunda tak yakin bisa menghafalkannya”. Bunda terus bercerita
dengan semangat empat limanya.
Aku
begitu sedih mendengar kisah bunda. Seandainya aku berada didekatnya akan
kuajarkan semuanya dengan sepenuh hati. Tapi sayang aku berada di tempat yang
sangat jauh dari beliau.
Lain
waktu bunda bercerita tentang orang yang membantunya menyelesaikan makalah yang
harus dikumpulkan lewat email. Ada rasa sedih dalam nada suaranya. Betapa miris
perlakuan dan perkataan petugas warnet itu. Ingin rasanya aku menampar mulutnya
yang tak bisa dijaga. Seenaknya mengatakan bundaku kampungan dan kolot. Ingin rasanya
menangis, tetapi aku harus bersabar. Namun yang mengherankan bunda tak terlalu
peduli. Dia dengan bebas dan polosnya terus saja bercerita segala
ketidaktahuannya tentang dunia komputer.
tiba-tiba saja aku ingin liburan semester depan pulang ke rumah. Apapun yang
terjadi, sekalipun biaya transportnya sangat mahal.
***
Hari
ini hujan kembali mencumbui kota budaya. Aku terjaga dari mimpi yang tak
kuingat lagi. Hujan. Aku tak menyukainya. Membuatku kembali terkenang kisah
itu. Kisah yang selalu membuatku merindukannya. Merindukan tawa, suara, hangat
tubuhnya saat memelukku, tarikan nafasnya saat bercerita, kebiasaannya saat
memarahiku dan bahkan saat merapikan poniku, mencubit hidung dan membuatku
terus kuat berdiri sampai detik ini. Dan rindu itu kembali datang dan membuatku
pasrah. Membiarkan bayangan kisah-kisah yang dulu mewarnai hari-hariku kembali
ditayangkan layaknya film layar lebar. Entah sudah yang keberapa kalinya. Dan
lebih mengherankan lagi Rol kisah-kisah itu seolah tak pernah lelah tayang
dalam ingatanku.
Sore
itu setelah pengumuman kelulusanku aku berlari kecil menghampirinya. Dia sedang
belepotan lumpur. Ditangannya ada singkong yang baru dicabut.
“Bunda.aku
lulus”, teriakku.
“hebat
anak bunda. Bunda bangga kepadamu.” Dan sebuah kecupan hangat mendarat dipuncak
kepalaku. Dan sore itu bumi Marapu menjadi saksi betapa tulus perasaan sayang
yang sedang dibagi oleh ibu dan anak.
Aku
menghembuskan nafas. Tulisan hari ini cukup membuat pikiranku terbang kembali
pada saat hari kelulusanku. Ahh.. Bunda betapa aku merindukanmu. Aku rindu
menantimu pulang dari mengajar didepan rumah sederhana kita. Bahkan aku sangat
merindukan amarahmu. Aku tahu betapa banyak perih yang telah engkau rasakan.
Dicemooh, dianggap wanita penggoda, dan tak dihiraukan. Aku ingin sukses dan
akan kubahagiakan bunda. Akan ku ajak bunda kemana saja bunda ingin, akan
kubelikan apa yang bunda mau, akan kumanjakan bunda kesalon. Rambut yang kusut
terpapar mentari, kulit hitam legam terpanggang panas. Ahh.. bunda betapa menggunung
rinduku padamu. Dan tahukah engkau dalam keadaan apapun, engkau tetap wanita tercantik yang pernah ada
didunia.
***
Jumat
sore yang berangin setelah menyelesaikan perkuliahan linguistik, aku bergegas
berlarian menuruni undakan depan kampus. Dua tangga sekaligus ku lewati. Aku
ingin cepat-cepat berlari dan secepatnya tiba di kantor pos. 15 menit lagi
kantor pos akan tutup, aku tak ingin terlambat. Karena jika semuanya terlambat
maka mimpi dan misi rahasiaku untuk bunda hanya akan tinggal sejarah.
***
“stop
pak, jangan ditutup dulu. Tolong sebentar saja. Aku ingin mengirimkan sebuah
paket kilat ke Jakarta”, teriakanku membuat bapak berpakaian oranye itu
berhenti menutup pintu. Dengan nafas ngos-ngosan akhirnya aku tiba juga didepan
bapak itu. Kulirik gembok putih digenggamannya. Dan aku sadar kesempatanku
sangat sedikit. Mungkin jika dewi fortuna berpihak kepadaku, maka akan kucatat
hari ini sebagai sejarah terbaik dalam hidupku. “Mau ditutup yah pak??”,
tanyaku skeptis.
“lah,
ia mbak. Piye to, udah juga liat, tinggal digembok aja”, jawab bapak itu
sedikit ketus. Aku sadar mungkin beliau kecapaian. Dia hanya ingin segera
menunaikan tugasnya dan sesegera mungkin tiba dirumah.
“apa
aku bisa minta tolong pak”? tanyaku penuh harap. Bapak itu menatapku. Aku tak
tahu apa yang ada dalam pikirannya, namun aku hanya berharap dia mau membuka
pintu ini dan mengirimkan paketku secepatnya.
“aduh
maaf mbak, saya ngak bisa. Begini saja. Sekarang mbak pulang dulu, nanti besok
pagi kesini lagi”.
“tapi
pak, kalau menunggu besok lagi saya akan kehilangan kesempatan. Saya sudah
menghitung waktunya seakurat mungkin, harus hari ini pak. Tolong pak bantu
saya”, sahutku memelas. Aku bisa mendengar ada nada sumbang dalam suaraku.
Campuran antara rasa capek, marah, kecewa dan jengkel. Namun bapak berbaju
oranye itu tetap saja kokoh pada pendiriannya. Setelah hampir 5 menit
bernegosiasi, hasil akhirnya tetap utuh. Aku yang harus mengalah. Dengan
langkah gontai kutinggalkan kantor pos. Dadaku sangat sesak dan tanpa kusadari
mataku telah hangat. Butiran lembut membasahi pipiku. Aku menangis. Aku gagal
mengirimkan cerpenku untuk diadu dalam lomba yang diadakan sebuah penerbit di
Jakarta. Kubuka amplop coklat itu dan kukeluarkan isinya. Tertera dengan jelas
judul cerita diatas. Cerita khusus tentang wanita hebat dalam hidupku. Kudekap
kertas itu seolah mendekap mimpiku yang baru saja hilang. Lamat-lamat kuucapkan
kata-kata ini “ maafkan aku Bunda. Aku belum bisa menghadiahkanmu sebuah notebook”.
Klakson
mobil mengagetkanku. Segera aku menyebarang menuju kos. Sebentar lagi kota
budaya ini akan diguyur hujan lebat. Aku harus secepatnya tiba di kos. Dan saat
kakiku menapaki teras kos, langit seolah membocorkan bendungannya. Hujan begitu
lebat. Kutatap setiap rinai hujan yang menyentuh bumi. Aku tahu suatu saat
nanti, kisah dalam genggamanku ini akan dibaca semua orang dan mimpi membelikan
bunda sebuah notebook akan tercapai. Dan hujan itu menutup sempurna segala rasa
dalam hatiku.
Yogyakarta,
November akhir 2011
Komentar
Posting Komentar